Laman

Jumat, 08 November 2013

Si Anak Rantau


Bismillaah.

"Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang" (QS. An Nisaa: 100)



Seperti biasa tak henti-hentinya kuucapkan rasa syukur kehadirat Allah swt yang masih dan akan selalu berbaik hati melimpahkan segala kasih sayangnya kepadaku sehingga aku masih diberi kesempatan untuk menatap langit malam Ciputat yang begitu indah dengan bertaburkan bintang-bintang.
Shalawat dan salam semoga akan tetap tercurahkan kepada idola kita sepanjang masa, tak lain dan tak bukan adalah Rasul Muhammad saw. Semoga mimpi mulia kita untuk memperoleh syafaatnya di hari akhir nanti akan terwujud. Aamiin.
Tak kusangka sekarang aku sudah menjajaki hidup di tanah orang lain. Meniti hidup dan menggali ilmu di kota sebesar Ciputat ini bukanlah perkara mudah. Cita-citaku untuk kuliah di Jakarta akhirnya didengar oleh Allah—anggap saja Ciputat termasuk wilayah Jakarta—. Sedikit menoleh ke belakang sekitar satu tahun terakhir, aku sempat dihadapkan pada dua pilihan yang berat. Alhamdulillah aku diterima di dua PTN dengan program studi yang berbeda, Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta dan Sastra Arab UNS. Aku harus memilih salah satu. Di satu sisi sejak masih duduk di kelas XI aku sangat ingin merantau ke Jakarta saat kuliah kelak, di sisi lain aku mengidam-idamkan prodi Sastra Arab mengingat keantusiasanku dengan dunia ketimurtengahan cukup besar.
Aaaaa. Akhirnya setelah dirundingkan dengan keluarga, bapak pun angkat bicara “udah kamu ke Jakarta aja ya, mbak sama masmu banyak di sana. Biar kalo butuh apa-apa deket. Toh bapak sama mama sekarang udah ngga menetap di Jakarta lagi.” Ada perasaan bahagia juga sedih. Sedih ketika harus melepas prodi idamanku itu. Oh Sastra Arab, aku memang harus melepasmu. Baik-baik di sana ya. Hiks hiks. Aku pun mengiyakan permintaan orangtuaku, terlebih keluarga juga mendukung sepenuhnya keputusan bapak. Daaaan jadilah aku melanjutkan studi ke Jakarta.
Aku memang mengagumi Jakarta. Entah mengapa aku sering dibuat melongo dengan gegap gempita dan hiruk pikuk kota metropolitan ini. Jakarta ibarat miniatur Indonesia. Banyak suku, bahasa, agama serta budaya bercampurbaur di Jakarta. Melihat gedung-gedung pencakar langit beserta penghuninya yang kebanyakan merupakan orang kaya membuatku terpacu kelak aku harus mapan seperti mereka! Di tengah-tengah kota sebesar ini terkadang membuatku merasa sangat kecil. Aku tak lebih dari sebutir pasir di hamparan Pantai Widuri Pemalang. Bayangkan, semua kalangan manusia tumpah ruah di sini. Dari anak kecil hingga kakek-nenek, dari menengah bawah hingga atas, dari sekadar tukang sapu jalanan hingga para pejabat, maupun dari cleaning service hingga artis. Kala kudongakkan kepala ke gedung-gedung pencakar langit itu, aku pun berdoa, “Ya Allah, kali ini aku memang bukan siapa-siapa, namun aku akan menjadi seseorang suatu saat ini. Dan aku ingin menjadi ‘seseorang’ di sini”. banyak teman dan guruku yang bertanya-tanya mengapa aku memilih berkuliah di Jakarta. Bagiku Jakarta adalah tantangan, dan aku harus bisa mengatasinya! Jakarta adalah alat, alat buatku untuk mewujudkan mimpi!
Dulu waktu masih di Pemalang, aku tak begitu bermasalah dengan jarak untuk bertemu dengan orangtua. Kini, aku harus menunggu libur panjang atau momen yang benar-benar tepat untuk pulang ke kampung halaman. Namun beruntungnya, aku masih punya mbak dan mas yang semuanya merantau di Jakarta. Itulah alasan mengapa orangtua bersikeras menguliahkanku di Jakarta. Mereka sungguh baiiiiiik sekali denganku. Aku terkadang tak enak hati sendiri dengan mereka. Kerapkali mereka memberikan banyak hal tanpa aku minta terlebih dahulu. Terima kasih bapak mama, kalian memang bukan tanpa alasan dalam mengambil sikap :’)
Menjadi anak rantau haruslah bijak. Bijak memilih teman, pergaulan, lingkungan serta bijak mengatur, baik mengatur keuangan maupun waktu. Jauh-jauh aku merantau dari Pemalang bukan hanya sekadar untuk bolak-balik asrama-kampus, tapi yang jauh lebih penting adalah penerapan dari apa yang telah, sedang dan akan aku pelajari. Menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya merupakan tujuan mulia dari setiap insan di belahan bumi ini, termasuk aku. Terakhir, ada kutipan menarik dari Imam Syafi’i:
"Orang berilmu dan beradab
Tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu (cendana) tak ubahnya
seperti kayu biasa jika di dalam hutan."


Aku, Si Anak Rantau
Nuraini Ms.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar