Laman

Sabtu, 09 November 2013

Thanks a Lot for Being My Haters

Bismillaah.
Subhanallah, Maha Suci Allah, sebaik-baik pengatur alur cerita kehidupan yang fana ini. Scripter terbaik dunia akhirat. Btw, Jumat sore lalu menjadi suatu sore yang menarik. Seperti biasanya aku mengikuti Speaking Class setiap hari Selasa dan Jumat sore di Latanza Institute. Kali itu tema diskusi kita sangat seru, mengenai ‘Antara Saya dan Mereka’. Seringkali kita dianggap sebelah mata
oleh orang lain. Diremehkan, bak angin yang dibiarkan berlalu begitu saja. Pun halnya dengan lingkungan kita berada, tidak mendukung kegiatan maupun pola pikir kita. Terkadang nafsu bicara: “Aku lelah, aku ingin menyerah.” namun hati nurani menyangkal: “Tidak, aku pasti bisa berdiri tegak.” Ya begitulah kehidupan, manusia tak akan pernah bisa menjadi hebat jika tak punya masalah. Bukan hidup namanya kalau berjalan mulus-mulus saja. Bukankah Allah memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan? Andai Allah selalu memberikan apa yang kita inginkan, mungkin tak akan ada lagi isak tangis di sepertiga malam saat menunaikan Tahajjud agar Allah mewujudkan apa yang kita mau.
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. Yunus: 107
Ada pernyataan super dari Pak Habibie: “Ketika seseorang menghina kamu, itu adalah sebuah pujian bahwa selama ini mereka menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kamu, bahkan ketika kamu tidak memikirkan mereka.” Sosok Pak Habibie hebat bukan dalam sekelebat, perlu perjuangan yang tak ringan. Ibarat karang yang tak akan pernah goyah diterpa deburan ombak yang kencang. Sosok beliau saja masih sering dipandang sebelah mata, apalagi kita, apalagi aku?
Belajar dari sosok Pak Habibie atau sosok hebat lainnya, ternyata kehebatan mereka justru didukung oleh haters mereka. Ketika orang lain mempertanyakan kemampuan kita: “emang lo bisa?” Seharusnya dari situ semangat kita terbakar, seharusnya kita terpacu untuk bisa melebihi mereka. Aku sendiri sering dipandang remeh. Mereka menjudge aku tanpa terlebih dahulu mau mengenal seperti apa aku ini, atau mengunderestimate aku terlalu dini. Dan yang bisa aku lakukan bukan terlalu banyak bercakap-cakap kata, percuma gan. Tapi di sini kita perlu pembuktian. Kita buat suatu saat mereka merasa malu dan bersalah telah memandang remeh kita. Di mana ada kemauan (niat), di situ ada jalan. Dalam Hadits Arba’in pun niat ditempatkan di urutan pertama, semakin membuktikan bahwa niat ibarat pondasi yang akan mengokohkan suatu bangunan.
Menyerah pada keadaan bukan solusi. Aku kembali diingatkan dengan kata-kata Mr.Mahbub, sang pemilik Latanza Institute, “When you give up, it means that you die before the real death”. Ketika kamu menyerah, itu berarti kamu mati sebelum kematian yang sesungguhnya. Pada akhirnya, kita hanya perlu membuktikan kepada dunia bahwa kita bisa menaklukkan mimpi-mimpi kita. Terlalu sayang diri kita ini dianggap lemah tak berdaya. Allah memberikan kita waktu yang sama, 24 jam. Porsi otak yang sama pula. Bagaimana mengelolanya? Kembali kepada diri kita masing-masing. Seorang juara lomba lari itu hanya memenangkan suatu pertandingan beberapa detik atau bahkan satu detik saja dari para pelari di belakangnya. Untuk menjadi luar biasa, lakukan yang luar biasa pula. Selangkah lebih maju itu kurang cukup. Dua, tiga, dan seterusnya lebih maju baru cukup! Just expand your potential to be one that you want^^

NB: Tulisan ini diketik dengan semangat yang menggebu-gebu dari penulis. Special thanks to Big Family of Latanza Institute. And, thanks a lot to the people who have been looking me down. Because of you, I’m stronger now :)
 
Nuraini Ms.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar