Sejarah Pers di
Indonesia
Menurut Nurudin (2009),
yang mengawali terbitnya surat kabar di Indonesia adalah surat kabar tulisan
tangan bernama Memoria der Nouvelles. Seperti surat kabar pendahulu di
Eropa, di Indonesia surat kabar pada mulanya tidak dicetak. Di Eropa mesin
cetak memang telah ditemukan, namun pada tahun itu (1440-1609) mesin cetak
pemakaiannya masih dikuasai oleh raja yang berkuasa (authoritarian concept).
Akibatnya, surat kabar cetak agak terlambat terbit. Surat kabar yang ditulis
tangan Memoria der Nouvellis terbit pada tahun 1615. Surat kabar itu
ditulis tangan karena memang di Indonesia belum ada mesin cetak.
Sejarah pers di
Indonesia telah mengalami berbagai macam sistem pers, antara lain:
1. Pers
Perjuangan
Surat
kabar cetak pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (terbit
bulan Agustus 1744, ditutup Juni 1746). Karena adanya larangan dari pemerintah
Belanda di Eropa dan masa peperangan antara Belanda dan Perancis serta antara
Belanda dan Inggris, surat kabar terbitan orang Belanda berikutnya baru muncul
pada tahun 1817 dengan nama Bataviasche Courant. Koran-koran yang
menyusul antara lain adalah Bataviasche Advertentieblad (1827), Netherlands
Indiesche Handelsblad (1829), Soerabajasche Courant (1831), dan Samarangsche
Advertentieblad (1845).
Pada
tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani.
Surat kabar pertama dalam bahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa
Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1856. Kemudian lahir pula Soerat
Chabar Betawie (1858), Selompret Malajoe (Semarang, 1860), Bintang
Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani Surakarta (1846), dan Biang
Lala (Jakarta, 1867)
Lahirnya
Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan awal kebangkitan nasional, yang
merangsang ide-ide pergerakan modern untuk mencapai kemerdekaan. Tentu saja
kelahiran Budi Utomo tidak dapat dilepaskan dari mata rantai perjuangan bangsa
Indonesia menentang penjajahan dalam berbagai bentuknya sejak abad ke-16.
2. Pers
Merdeka
Berita
tentang proklamasi pertama disiarkan oleh para wartawan Indonesia di Domei di
bawah pimpinan Adam Malik. Adam Malik menceritakan kemudian bahwa satu salinan
teks proklamasi tersebut diambilnya, lalu diserahkan kepada Asa Bafagih, waktu
itu wartawan muda Antara, untuk diteruskan kepada Pangulu Lubis. Di kantor
Domei, Lubis berhasil menyiarkan teks proklamasi tanpa sepengetahuan petugas
sensor Jepang. Berita tentang proklamasi juga disiarkan melalui radio-radio yang
waktu itu masih dikuasai tentara Jepang.
Dalam
semua kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama
bulan Agustus itu, sejumlah wartawan-pejuang dan pejuang-wartawan ikut
melibatkan diri secara aktif. Selain Bung Karno yang tercatat sebagai penulis
di Benteng Priangan, pemimpin redaksi Fikiran Rakyat dan lain-lain, serta Bung
Hatta yang menulis untuk Daulat Ra’jat dan pernah memimpin Oetoesan Indonesia,
dapat ditambahkan nama-nama seperti Sukarjo Wiryopranoto, Iwa Kusumasumantri,
Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandardinata, G.G.S.J. Ratulangi, Adam Malik, B.M.
Diah, Sayuti Melik, Syahrir, dan beberapa orang lagi.
Tokoh-tokoh
pergerakan yang bekerja di stasiun-stasiun radio antara lain Maladi, Yusuf
Ronodipuro, Sakti Alamsjah, Kadarusman, dan Suryodipuro. Maladi memprakarsai
usaha pendirian Radio Republik Indonesia (RRI), pada 11 September 1945.
Tercatat delapan cabang pertama, yaitu Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Malang dan Surabaya. Berkat siaran-siaran yang
dilancarkan oleh wartawan Domei, yang kembali dinamakan kantor berita Antara,
serta penyiar-penyiar radio tersebut, pada bulan September 1945 seluruh
Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui adanya proklamasi Kemerdekaan
Indonesia.
Setelah
pengakuan kedaulatan, struktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa
sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan Cina.
Kebanyakan pers nasional berada dalam kedudukan lemah di bidang pengusahaannya,
dibanding dengan koran-koran Belanda yang dicetak di percetakan-percetakan
mutakhir milik Belanda dan koran-koran Cina yang didukung oleh kapital luar.
Selain
surat-surat kabar di atas, di Jakarta terbit harian Pemandangan, Merdeka,
Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masjarakat (organ Nahdatul Ulama), Sin Po
(Cina, Komunis), Keng Po (Cina, nonkomunis), dan majalah-majalah seperti
Siasat, Mimbar Indonesia dan Star Weekly. Di luar Jakarta, koran-koran yang
tergolong besar masa itu adalah Waspada, Mimbar Umum (Medan), Pikiran Rakjat
(Bandung), Kedaulatan Rakjat (Yogyakarta), dan Harian Umum (Surabaya).
3. Pers
Liberal
Kehidupan
pers di Indonesia setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda
dan Negara-negara Barat penyokongnya
mencerminkan suasana dan keadaan politik yang berkembang dalam masa liberal
kedua antara 1950-1959.
Praktek
pers liberal telah dimulai sejak bulan Nopember 1945 tatkala pemerintah
mencanangkan berlakunya sistem banyak partai. Sebagian surat kabar kala itu
telah membawa suara partai atau organisasi masing-masing. Penampilan mereka
adalah sejalan dengan posisi partai-partai yang mereka wakili yang dihadapi.
Suasana dan keadaan politik yang liberalistis itu terpapar dalam berita-berita,
tajuk rencana, karikatur dan pojok pers.
Setelah
pengakuan kedaulatan, struktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa
sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan Cina.
Kebanyakan pers nasional berada dalam kedudukan lemah di bidang pengusahaannya,
dibanding dengan koran-koran Belanda yang dicetak di percetakan-percetakan
mutakhir milik Belanda dan koran-koran Cina yang didukung oleh kapital luar.
Di
antara sejumlah kecil pers nasional yang mampu membangun peralatan grafika yang
memadai tercatat harian Merdeka dan Indonesia Raya, yang notabene adalah
koran-koran yang tidak berpartai.
Lainnya adalah Pedoman, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Partai Sosialis
Indonesia (PSI). Ketiganya terbit di Jakarta. Di luar tiga harian itu, terutama
di luar Jakarta, keadaan pers sangat memprihatinkan.
Menurut
catatan tahun 1950, jumlah surat kabar harian berbahasa Indonesia mencapai 67,
bahasa Belanda 11 dan bahasa Cina 15. Oplah masing-masing golongan surat kabar
tersebut: 338.300, 87.200, dan 73.650. Jumlah surat kabar mingguan, majalah dan
berkala mencapai 226 dengan jumlah oplah sedikit melebihi satu juta lembar.
Sembilan tahun kemudian, jumlah surat kabar harian mencapai 94 dengan jumlah oplah 1.036.500;
mingguan, majalah dan berkala berjumlah 273 dengan oplah berjumlah 3.062.800.
Menurut
catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah
oplah hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang
mencatat jumlah oplah terbesar umumnya merupakan organ atau pendukung partai
seperti terlihat di bawah ini:
- Harian Rakyat, organ Partai Komunis
Indonesia (PKI) dengan oplah 55.000/hari.
-
Pedoman, organ Partai Sosialis Indonesia
(PSI) dengan oplah 48.000/hari.
-
Suluh Indonesia, organ Partai Nasionalis
Indonesia (PNI) beroplah 40.000/hari.
-
Abadi, organ Masyumi, dengan oplah 34.000/hari.
Selain surat-surat kabar di atas, di Jakarta
terbit harian Pemandangan, Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta
Masjarakat (organ Nahdatul Ulama), Sin Po (Cina, Komunis), Keng Po (Cina,
nonkomunis), dan majalah-majalah seperti Siasat, Mimbar Indonesia dan Star
Weekly. Di luar Jakarta, koran-koran yang tergolong besar masa itu adalah
Waspada, Mimbar Umum (Medan), Pikiran Rakjat (Bandung), Kedaulatan Rakjat
(Yogyakarta), dan Harian Umum (Surabaya).
4. Pers
Otoriter
Pers
otoriter dimulai sejak masa politik di Indonesia adalah demokrasi terpimpin
yang digaungkan oleh Soekarno.
Dengan
penetapan berlakunya UUD 1945, pimpinan pemerintahan kembali dipegang oleh
presiden. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi lonceng kematian liberalisme dan
sistem parlementer di Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno yang
menyampaikan pidatonya berjudul, ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’, yang
kemudian oleh DPAS dinyatakan sebagai manifesto politk (manipol) dan diputuskan
sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pada
tahun 1960 pemerintah telah mengeluarkan juga Peraturan Penguasa Perang
Tertinggi (Peperti) No. 3/1960 mengenai larangan menerbitkan surat kabar dan
majalah yang tidak berhuruf Latin, Arab atau Daerah. Selanjutnya, pada 12
Oktober 1960, keluar lagi Peperti No. 10/1960 mengenai keharusan bagi penerbit
pers untuk memperoleh izin terbit.
Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi penyokongnya memulai ‘ofensif
revolusioner’ mereka tidak lama setelah Dekrit 5 Juli 1959 hingga puncaknya
pada pemberontakan apa yang dinamakan Gerakan 30 September.
Pada
tanggal 23 Februari 1965 dan 23 Maret 1965 Presiden memerintahkan pembreidelan
puluhan koran-koran anggota BPS di
seluruh Indonesia, koran-koran tersebut adalah sebagai berikut, di Jakarta;
Semesta, Berita Indonesia, Berita Indonesia Sport dan Film, Merdeka, Indonesian
Observer, Warta Berita, Revolusioner, Garuda, Karyawan, Gelora Minggu, Suluh
Minggu, Mingguan Filam. Di Medan; Indonesia Baru, Tjerdas Baru, Mimbar Umum,
Waspada, Duta Minggu, Suluh Massa, Mimbar Teruna, Genta Revolusi, Resopim,
Pembangunan, Waspada Teruna, Mingguan Film, Siaran Minggu, Sjarahan Minggu. Di
Padang; Aman Makmur. Di Semarang; Pos Minggu.
Gambaran
pers masa Demokrasi Terpimpin menjadi sebagai berikut:
-
Suluh Indonesia (harian PNI) dengan
delapan afiliasi di berbagai kota.
-
Duta Masjarakat (NU) dengan tujuh
afiliasi.
-
Harian Rakjat (PKI) dengan 14 afiliasi.
-
Benteng Rakjat (Partindo, tidak terbit)
dengan lima afiliasi.
-
Api Pancasila (IPKI, sebelumnya bernama Takari)
dengan tiga afiliasi.
-
Nusa Putera (PSII) dengan empat
afiliasi.
-
Sinar Bhakti (Partai Katolik, tidak
terbit) dengan empat afiliasi.
-
Fadjar Baru (Perti) dengan satu
afiliasi.
5. Pers
Pancasila
Pemberontakan
G30S/PKI telah digagalkan pada tanggal 1 Oktober 1965 siang berkat operasi
kilat pasukan khusus TNI-AD, RPKAD. Gedung pusat telekomunikasi dan Radio
Republik Indonesia (RRI) berhasil direbut kembali dari satuan bersenjata
G30S/PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung, seorang komandan pasukan pengawal presiden,
Resimen Cakrabirawa.
Salah
satu dokumen penting yang perlu dicatat di sini adalah Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Dalam ketetapan ini MPRS menegaskan
perlunya ada perundang-undangan tentang pers sesuai dengan bunyi pasal 28 UUD
1945.
6. Pers
Bebas Bertanggungjawab
Dalam
era kebebasan pers, media di Indonesia tidak lagi takut memberitakan tentang kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah. Begitu juga pemerintah tidak bisa membatasi media
massa dalam pemberitaannya. Karena dalam era kebebasan pers, terdapat hak jawab
bagi pihak yang dirugikan dalam pemberitaan. Euphoria kebebasan media massa di
Indonesia menjadi titik terang kebebasan berekspresi bagi warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar