Laman

Minggu, 19 Oktober 2014

Materi Hukum dan Sistem Media Massa (4)


Sejarah Pers di Indonesia

Menurut Nurudin (2009), yang mengawali terbitnya surat kabar di Indonesia adalah surat kabar tulisan tangan bernama Memoria der Nouvelles. Seperti surat kabar pendahulu di Eropa, di Indonesia surat kabar pada mulanya tidak dicetak. Di Eropa mesin cetak memang telah ditemukan, namun pada tahun itu (1440-1609) mesin cetak pemakaiannya masih dikuasai oleh raja yang berkuasa (authoritarian concept). Akibatnya, surat kabar cetak agak terlambat terbit. Surat kabar yang ditulis tangan Memoria der Nouvellis terbit pada tahun 1615. Surat kabar itu ditulis tangan karena memang di Indonesia belum ada mesin cetak.

Sejarah pers di Indonesia telah mengalami berbagai macam sistem pers, antara lain:
1.      Pers Perjuangan
Surat kabar cetak pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (terbit bulan Agustus 1744, ditutup Juni 1746). Karena adanya larangan dari pemerintah Belanda di Eropa dan masa peperangan antara Belanda dan Perancis serta antara Belanda dan Inggris, surat kabar terbitan orang Belanda berikutnya baru muncul pada tahun 1817 dengan nama Bataviasche Courant. Koran-koran yang menyusul antara lain adalah Bataviasche Advertentieblad (1827), Netherlands Indiesche Handelsblad (1829), Soerabajasche Courant (1831), dan Samarangsche Advertentieblad (1845).
Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar pertama dalam bahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1856. Kemudian lahir pula Soerat Chabar Betawie (1858), Selompret Malajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani Surakarta (1846), dan Biang Lala (Jakarta, 1867)
Lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan awal kebangkitan nasional, yang merangsang ide-ide pergerakan modern untuk mencapai kemerdekaan. Tentu saja kelahiran Budi Utomo tidak dapat dilepaskan dari mata rantai perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan dalam berbagai bentuknya sejak abad ke-16.
2.      Pers Merdeka
Berita tentang proklamasi pertama disiarkan oleh para wartawan Indonesia di Domei di bawah pimpinan Adam Malik. Adam Malik menceritakan kemudian bahwa satu salinan teks proklamasi tersebut diambilnya, lalu diserahkan kepada Asa Bafagih, waktu itu wartawan muda Antara, untuk diteruskan kepada Pangulu Lubis. Di kantor Domei, Lubis berhasil menyiarkan teks proklamasi tanpa sepengetahuan petugas sensor Jepang. Berita tentang proklamasi juga disiarkan melalui radio-radio yang waktu itu masih dikuasai tentara Jepang.
Dalam semua kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama bulan Agustus itu, sejumlah wartawan-pejuang dan pejuang-wartawan ikut melibatkan diri secara aktif. Selain Bung Karno yang tercatat sebagai penulis di Benteng Priangan, pemimpin redaksi Fikiran Rakyat dan lain-lain, serta Bung Hatta yang menulis untuk Daulat Ra’jat dan pernah memimpin Oetoesan Indonesia, dapat ditambahkan nama-nama seperti Sukarjo Wiryopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandardinata, G.G.S.J. Ratulangi, Adam Malik, B.M. Diah, Sayuti Melik, Syahrir, dan beberapa orang lagi.
Tokoh-tokoh pergerakan yang bekerja di stasiun-stasiun radio antara lain Maladi, Yusuf Ronodipuro, Sakti Alamsjah, Kadarusman, dan Suryodipuro. Maladi memprakarsai usaha pendirian Radio Republik Indonesia (RRI), pada 11 September 1945. Tercatat delapan cabang pertama, yaitu Jakarta, Bandung, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Malang dan Surabaya. Berkat siaran-siaran yang dilancarkan oleh wartawan Domei, yang kembali dinamakan kantor berita Antara, serta penyiar-penyiar radio tersebut, pada bulan September 1945 seluruh Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui adanya proklamasi Kemerdekaan Indonesia.  
Setelah pengakuan kedaulatan, struktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan Cina. Kebanyakan pers nasional berada dalam kedudukan lemah di bidang pengusahaannya, dibanding dengan koran-koran Belanda yang dicetak di percetakan-percetakan mutakhir milik Belanda dan koran-koran Cina yang didukung oleh kapital luar.
Selain surat-surat kabar di atas, di Jakarta terbit harian Pemandangan, Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masjarakat (organ Nahdatul Ulama), Sin Po (Cina, Komunis), Keng Po (Cina, nonkomunis), dan majalah-majalah seperti Siasat, Mimbar Indonesia dan Star Weekly. Di luar Jakarta, koran-koran yang tergolong besar masa itu adalah Waspada, Mimbar Umum (Medan), Pikiran Rakjat (Bandung), Kedaulatan Rakjat (Yogyakarta), dan Harian Umum (Surabaya). 
3.      Pers Liberal
Kehidupan pers di Indonesia setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda dan Negara-negara Barat  penyokongnya mencerminkan suasana dan keadaan politik yang berkembang dalam masa liberal kedua antara 1950-1959.
Praktek pers liberal telah dimulai sejak bulan Nopember 1945 tatkala pemerintah mencanangkan berlakunya sistem banyak partai. Sebagian surat kabar kala itu telah membawa suara partai atau organisasi masing-masing. Penampilan mereka adalah sejalan dengan posisi partai-partai yang mereka wakili yang dihadapi. Suasana dan keadaan politik yang liberalistis itu terpapar dalam berita-berita, tajuk rencana, karikatur dan pojok pers.
Setelah pengakuan kedaulatan, struktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan Cina. Kebanyakan pers nasional berada dalam kedudukan lemah di bidang pengusahaannya, dibanding dengan koran-koran Belanda yang dicetak di percetakan-percetakan mutakhir milik Belanda dan koran-koran Cina yang didukung oleh kapital luar.
Di antara sejumlah kecil pers nasional yang mampu membangun peralatan grafika yang memadai tercatat harian Merdeka dan Indonesia Raya, yang notabene adalah koran-koran yang  tidak berpartai. Lainnya adalah Pedoman, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ketiganya terbit di Jakarta. Di luar tiga harian itu, terutama di luar Jakarta, keadaan pers sangat memprihatinkan.
Menurut catatan tahun 1950, jumlah surat kabar harian berbahasa Indonesia mencapai 67, bahasa Belanda 11 dan bahasa Cina 15. Oplah masing-masing golongan surat kabar tersebut: 338.300, 87.200, dan 73.650. Jumlah surat kabar mingguan, majalah dan berkala mencapai 226 dengan jumlah oplah sedikit melebihi satu juta lembar. Sembilan tahun kemudian, jumlah surat kabar harian  mencapai 94 dengan jumlah oplah 1.036.500; mingguan, majalah dan berkala berjumlah 273 dengan oplah berjumlah 3.062.800.
Menurut catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah oplah hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang mencatat jumlah oplah terbesar umumnya merupakan organ atau pendukung partai seperti terlihat di bawah ini:
-         Harian Rakyat, organ Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan oplah 55.000/hari.
-          Pedoman, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan oplah 48.000/hari.
-          Suluh Indonesia, organ Partai Nasionalis Indonesia (PNI) beroplah 40.000/hari.
-          Abadi, organ Masyumi, dengan oplah 34.000/hari.
 Selain surat-surat kabar di atas, di Jakarta terbit harian Pemandangan, Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masjarakat (organ Nahdatul Ulama), Sin Po (Cina, Komunis), Keng Po (Cina, nonkomunis), dan majalah-majalah seperti Siasat, Mimbar Indonesia dan Star Weekly. Di luar Jakarta, koran-koran yang tergolong besar masa itu adalah Waspada, Mimbar Umum (Medan), Pikiran Rakjat (Bandung), Kedaulatan Rakjat (Yogyakarta), dan Harian Umum (Surabaya). 
4.      Pers Otoriter
Pers otoriter dimulai sejak masa politik di Indonesia adalah demokrasi terpimpin yang digaungkan oleh Soekarno.
Dengan penetapan berlakunya UUD 1945, pimpinan pemerintahan kembali dipegang oleh presiden. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi lonceng kematian liberalisme dan sistem parlementer di Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno yang menyampaikan pidatonya berjudul, ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’, yang kemudian oleh DPAS dinyatakan sebagai manifesto politk (manipol) dan diputuskan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 
Pada tahun 1960 pemerintah telah mengeluarkan juga Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No. 3/1960 mengenai larangan menerbitkan surat kabar dan majalah yang tidak berhuruf Latin, Arab atau Daerah. Selanjutnya, pada 12 Oktober 1960, keluar lagi Peperti No. 10/1960 mengenai keharusan bagi penerbit pers untuk memperoleh izin terbit.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi penyokongnya memulai ‘ofensif revolusioner’ mereka tidak lama setelah Dekrit 5 Juli 1959 hingga puncaknya pada pemberontakan apa yang dinamakan Gerakan 30 September.
Pada tanggal 23 Februari 1965 dan 23 Maret 1965 Presiden memerintahkan pembreidelan puluhan koran-koran  anggota BPS di seluruh Indonesia, koran-koran tersebut adalah sebagai berikut, di Jakarta; Semesta, Berita Indonesia, Berita Indonesia Sport dan Film, Merdeka, Indonesian Observer, Warta Berita, Revolusioner, Garuda, Karyawan, Gelora Minggu, Suluh Minggu, Mingguan Filam. Di Medan; Indonesia Baru, Tjerdas Baru, Mimbar Umum, Waspada, Duta Minggu, Suluh Massa, Mimbar Teruna, Genta Revolusi, Resopim, Pembangunan, Waspada Teruna, Mingguan Film, Siaran Minggu, Sjarahan Minggu. Di Padang; Aman Makmur. Di Semarang; Pos Minggu.
Gambaran pers masa Demokrasi Terpimpin menjadi sebagai berikut:
-          Suluh Indonesia (harian PNI) dengan delapan afiliasi di berbagai kota.
-          Duta Masjarakat (NU) dengan tujuh afiliasi.
-          Harian Rakjat (PKI) dengan 14 afiliasi.
-          Benteng Rakjat (Partindo, tidak terbit) dengan lima afiliasi.
-          Api Pancasila (IPKI, sebelumnya bernama Takari) dengan tiga afiliasi.
-          Nusa Putera (PSII) dengan empat afiliasi.
-          Sinar Bhakti (Partai Katolik, tidak terbit) dengan empat afiliasi.
-          Fadjar Baru (Perti) dengan satu afiliasi.
5.      Pers Pancasila
Pemberontakan G30S/PKI telah digagalkan pada tanggal 1 Oktober 1965 siang berkat operasi kilat pasukan khusus TNI-AD, RPKAD. Gedung pusat telekomunikasi dan Radio Republik Indonesia (RRI) berhasil direbut kembali dari satuan bersenjata G30S/PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung, seorang komandan pasukan pengawal presiden, Resimen Cakrabirawa.
Salah satu dokumen penting yang perlu dicatat di sini adalah Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Dalam ketetapan ini MPRS menegaskan perlunya ada perundang-undangan tentang pers sesuai dengan bunyi pasal 28 UUD 1945. 
6.      Pers Bebas Bertanggungjawab
Dalam era kebebasan pers, media di Indonesia tidak lagi takut memberitakan tentang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Begitu juga pemerintah tidak bisa membatasi media massa dalam pemberitaannya. Karena dalam era kebebasan pers, terdapat hak jawab bagi pihak yang dirugikan dalam pemberitaan. Euphoria kebebasan media massa di Indonesia menjadi titik terang kebebasan berekspresi bagi warganya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar